SEBUNGKUS AIR TEBU
Cerpen
Oleh: Asnani Ummu Afra
Rembulan beransur menyisir celah awan abu-abu di kampungku, Tanjung Bunga, Kabupaten Kepulauan Meranti. Angin semilir berhembus meniup pada dedaunan, sesekali terdengar bunyi atap seng rumah mamakku tergesek oleh daun kelapa yang setinggi rumah di belakang rumah, bunyi yang aneh itu akan membuat seram bagi pendatang baru dan jika ditengah malam.
Bayiku menangis histeris ketika tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Emak dan bapak berusaha menenangkan namun tangisannya semakin histeris. Bukankah dari awal dia memang belum dekat dengan mereka!. Dia tetap siuman walau sedang menangis seperti tidak menghiraukan orang-orang disekelilingnya. Tetap dia lebih memilih aku dan merangkul tubuhku yang sedari tadi berbaring disisinya.
"Biasanya kalau menangis seperti ini, dia sakit perut mak!" ungkapku kepada emak yang ikut khawatir duduk di sebelahku.
"Berarti dia sering begini kalau dirumahmu!?" tanya emak sambil membuka tutup minyak telon dan mengulurkan botolnya kepadaku.
"Ambil ini!. Sapu keperut hingga bagian belakangnya!. Biar kalau ada angin, cepat keluar." pintanya padaku. Aku langsung meraih botol tersebut dan menyapukan kesemua bagian perutnya seperti yang dikatakan emak. Bayiku masih menangis histeris dipangkuanku sambil tengkurap menahan sakit. Sesekali pantatnya terangkat tanda masih sangat sakit.
"Ambil ini!, sapukan juga diperutnya.!" perintah bapak mengulurkan minyak bawang yang diraciknya, dia barusaja keluar dari dapur. Kuambil dan langsung kusapu seperti yang diperintahkan emak tadi. Lalu aku memberikan susu formulanya yang masih tersisa setengah botol. Namun dia menolak dan masih fokus dengan tangisannya.
"Coba digendong, sambil diusapkan belakangnya!." perintah bapak lagi. Akupun berdiri menggendongnya. Sekarang tangisannya agak berkurang. Dipeluknya aku dengan erat diikuti erangan tangisannya mulai mereda.
"Kalau begini, sebaiknya kamu jangan pergi lagi nak, emak pun kasian melihatnya. Walaupun dia tidak ASI, tapi dia belum bisa jauh darimu. Mereka pasti faham akan kondisi kamu!" Sambil duduk didepan aku berdiri, emak berucap sedih, sendu bagai mau keluar butiran saljunya yang memang ditahan. Kupaling wajahku kesamping, aku juga sedang berjuang menahan mutiara yang tanpa diperintahkan mau terjun dan bermuara malam itu.
Tiba-tiba tubuh bagian bawah bayiku berbunyi tiga kali, petanda perutnya akan semakin membaik.
"Emak juga sedang mengurusi keponakanmu yang empat bulan itu. Bagaimana jika keduanya rewel, mak takut tidak bisa menenangkan mereka!. Sementara kamu di Pekanbaru dua malam nantinya." kenapa sekarang tangisan bayiku seperti berpindah ke emak. Sambil memasangkan sarung bantal yang baru tanpa memandangku.
Bapak yang dari tadi duduk dikursi belakang kami, hanya diam sambil skrul layar kaca pipihnya. Dengan segelas teh yang dibuat emak tadi, kini hampir dingin.
Aku tahu emak tidak pernah menghalangiku beraktivitas luar, sejak dari sekolah dulu. Begitu juga dengan hari ini, emak hanya sedih melihat bayiku, itu saja. Aku juga tahu kondisi emak yang sedang merawat cucu barunya itu. Emak tidak sendirian, nanti juga ada suamiku yang sama-sama menjaga bayiku. karena akhir pekan dia libur kerja. Apalagi anakku adalah surga prematur yang lahir dibawah dua kilogram atau tepatnya satu kilo empat ons. Bahkan sudah rutin minum obat kejang setahun ini, sisanya setahun lagi. Serta dengan beberapa jenis obat dan vitamin lainnya dari resep dokter. Dikarenankan itu, dia harus kontrol kerumah sakit setiap bulan. Wajar suamiku khawatir juga, selama ini akulah yang memberikan obatan itu setiap hari, dan dia setia menjadi alerm selain dari Android kami yang rutin berdering setiap pukul tujuh pagi dan malam. Ah! perjalanan ini tidak mudah. Kukuatkan semangatku untuk menyambut seruan dakwah dari ujung kota sana.
Pukul menunjukkan enambelas. Sesekali hewan beroda dua itu melintas didepan rumah emak. Iya, aku menyaksikannya karena aku duduk dikursi tepat di depan pintu keluar rumah. Sebuah meja kecil bersandar ditepi dinding, dimana aku duduk. Ah, mereka sepaket alat rumah kesayangan bapak. Karena bapak sering duduk nongkrong disini. Kata emak itu tempat persemadian bapak.
Kupegang sebungkus air Tebu yang ada seteronya. Disini sebungkus air Tebu hanya dua ribuan rupiah, walau dimana-mana pun kedai disini yang kami kunjungi, harganya sama. Harga minyak dan sembako naik? Tidak ngaruh bagi kami yang jualan sambil bersedekah. Dikebun bapak banyak batang tebunya. Jika mau minum air tebu, kami tinggal antar saja dikedai, giling dan dah minum deh!. Namun tetap bayar ketika kami juga meminta bantu jasa gilingan mereka.
Aku sedang menikmati manisnya air tebu tanpa es itu. Kudekatkan seteronya dibibirku dengan penuh nikmat, menghisap sedotan demi sedotan air tebu, mengalir membasahi saluran pencernaan dan masuk keperutku. Aku memejamkan mata petanda lega dan puas.
Ini sebungkus air tebu pembelian suamiku siang tadi. Aku baru sempat menikmatinya. Sebungkus air tebu pelepas dahaga terhadap perkataan sang Pencipta. Sebungkus air tebu yang dengannya membuat aku bahagia mengingatkan perjalananku nanti kesana. Sebungkus air tebu yang memang selalu melepaskan dahaga dan membuat ku bahagia. Kapan dan dimanapun, karena suamiku sering membawanya untukku.
"My happily come true with this water!" begitu pepatah sederhanaku.
Tiba-tiba aku ingat perkataan emak tadi malam. Namun juga tidak kuhiraukan karena lelaki halalku sudah memberikan izin untuk keberangkatanku dalam agenda Pelatihan Guru Al-Qur'an.
Aku yang disematkan nama, Kartika Isabella, sebenarnya ibu rumah tangga. Lulusan Sarjana Ekonomi. Awalnya aku mengajar disalah satu sekolah menengah atas di desaku. Namun setelah aku menikah, aku memilih berhenti mengajar disitu. Kufokuskan waktuku bersama keluarga kecilku. Juga kufokuskan untuk mengajar tahsin dirumah, amanah dari teman pengajian rutin pekanan. Lelaki halalku tentu saja mengizinkanku. Dia yang bernama Rahmat Hidayat, yang bekerja di kantor desa. Yang mengkhitbah, dan menikahiku setahun lalu. Lelaki yang pengertian, serta suka membantu pekerjaan rumahku. Bahkan katanya itu bukan sebuah bantuan tetapi sejuta keromantisan bisa bersama istri didapur. Jelasnya sambil bantu-bantu di dapur ya!. Hihihi.
"Nanti abang bisa membantu emak menjaga, Adit!" begitu gumamku dihati bahwa suamiku bisa membantu emak menjaga bayiku, Adit, yang satu tahun itu.
Namun dalam waktu yang sama, masuk pesan wa dari suamiku. Kusentuh notif hijau dari barang pipihku sedari tadi berada di meja, karena baru saja berdering.
"Assalamualaikum. Adik, afwan ya. Abang harus berangkat sehari sebelum keberangkatanmu untuk urusan kerja penting!."
"Jadi adik sepertinya belum bisa berangkat ya!. Afwan." sambungnya lagi.
Aku terus mensekrol benda pipihku ini turun naik. Ada rasa aneh tiba-tiba. Pandanganku menerawang setelah membaca isi wa dari suamiku itu. Apakah ini bentuk menyenangkan hati dan akhirnya terluka. Sebungkus air tebu manis seketika berubah rasa. Ada rasa payau, bahkan sudah tidak terasa manisnya. Sudah tidak menjadi pelepas dahaga. Tidak sanggup aku menghabiskan sisa setengah bungkus melalui setero yang tadinya kuminum hisapan demi hisapan. Kecewa? Ada!. Marah? Ada!. Kecewa, karena apa aku harus kecewa. Bukankah dengan pekerjaan suamiku merupakan perantara rezeki Allah kepada kami. Marah, siapa yang harus kumarahi. Rencana Allah untukku, Dia berkehendak. Suamikukah?! Kenapa aku memarahinya. Ini bukan rencananya!. Ini rencana atasannya dalam pekerjaannya. Iya, rencana Allah. Aku menguasai emosi. Faham qodarullah kupakaikan hari ini dan waktu ini. Walau masih terasa janggal, masih ada yang lain dihatiku. Ah!, wajar aku hanya manusia biasa yang banyak kurangnya.
_______________________________
Malam begitu larut. Aku menuju dapur untuk mengambil segelas air putih, karena memang tenggorokanku butuh cairan itu. Bayi dan suamiku sudah tertidur pulas dikamar. Emak dan bapak juga sudah masuk kamar mereka beberapa saat lalu. Sementara keponakanku malam ini bersama ayah dan ibunya dikamar mereka yang paling depan.
Kulihat sebungkus air tebu yang tersisa setengah nya dikulkas itu. Masih cair tapi sudah dingin. Kuraih dan menatapnya didepan mataku. Tidak berhasrat aku meminumnya padahal aku begitu haus, dan aku lebih memilih mengambil segelas air putih segar sebagai pelepas dahagaku. Kurasakan bahwa hatiku sudah begitu dingin terkhususnya kepada suamiku itu. Masih kuingat kejadian sore tadi dan isi wa nya. Ah!, perempuan kenapa suka lama menikmati sesuatu. Aku terdiam sejenak didapur dalam hiruk pikuk jangkrik dan nyinyang yang masih on bersahut-sahutan. Sesekali pelepah daun kelapa bergesek diatas seng dapur itu. Untung aku sudah hafal betul bunyinya. Walau seperti suara barang yang meleset berjalan diatas seng itu.
Tiba-tiba bahuku dipegang, langsung kutoleh!. Rupanya suamiku sudah ada dibelakangku.
"Kamu disini!? Abang haus mau minum juga." sapanya padaku dan mengutarakan tujuannya kedapur.
"Iya, bang!, haus mau minum." jawabku sekenanya saja.
"Dik, kamu kenapa. Kulihat dari sore tadi tidak seperti biasanya." ungkap suamiku itu. Akhirnya terkesan juga sikapku terhadapnya walau berusaha kusimpan dan kuelakkan.
"Tidak bang, aku tidak sakit. Aku tidak apa-apa bang!" sambung dan jawabku menutupi kebenaran.
"Oh, tunggu sebentar!." kagetnya kepadaku, lalu dia masuk kamar. Datang lagi kepadaku yang masih memegang sebungkus es tebu yang masih duduk didapur. Kali dengan membawa ditangannya layar kaca yang pipih itu. Lalu menghampiriku. Kulihat cepat dia mensekrolnya. Lalu tertawa kecil. Aku jadi bingung kenapa dia tiba-tiba tertawa. Ada apa di Android nya.
"Hahahah." tawanya sambil menatapku.
"Dik, lihat ini!. Rupanya aku lupa mengirim isi wa ku kepadamu tadi sore. Padahal sudah selesai kuketik." jelasnya padaku namun aku masih bingung perihal apa yang dia katakan ini.
"Memang nya kenapa, bang? Wa apa pula itu?" tanyaku untuk mengungkap perihal apa sebenarnya. Kulihat dia masih tersenyum sambil menggeleng kepala.
"Hahaha... tadi sore itu sebelum pulang kerja, abang mau mengabarkan kepadamu bahwa abang tidak jadi berangkat. Sudah diwakili teman abang. Jadi abang free weekend bersama anak nantinya. So, adik boleh berangkat Karantina Al-Qur'an nantinya." jelasnya panjang lebar sambil memperlihatkan isi wa yang masih gantung itu.
Aku tersenyum cerah. Sambil sedikit memukulnya. Apakah memang benar dia lupa atau memang mengerjaiku. Namun apapun itu, sekarang tirai hatiku tersingkap lagi oleh keping-keping bunga yang bermahkota indah. Dalam hati aku berucap hamdalah. Akhirnya aku bisa mengikuti acara tersebut nantinya.
"Ayo dihabiskan air tebunya. Esok akan abang belikan lagi untukmu!" perintahnya seakan-akan tahu kondisi hatiku. Aku tersenyum menurut perintahnya.
Kini air tebu kembali terasa manisnya. Sisa setengah bungkus bagai sebungkus yang masih utuh terasa. Ah!, air tebu pelepas dahagaku.
"Abang mencariku ya?" dugaku sambil membersihkan tangan dikeran air.
"Iya dek!. Abang mau menghabiskan malam menikmati dendangan jangkrik dan nyinyang bersamamu." ungkapnya puitis.
"Ah bisa aja abang!. Ayuk." ajakku setelah selesai membersihkan tangan sambil tersenyum padanya.
Alhamdulillah. Pertolongan Allah serta pengertian suami yang bertakwa, juga pengorbanan anakku, Serta orangtua yang turut menjaga buah hatiku. Kembali aku rempuh jalan untuk menuntut ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar