ELSA TUKANG JAHIL

Elsa Tukang Jahil 
(Humor)
Oleh: Asnani Ummu Afra 

Suatu hari aku buru-buru mau keluar. Lalu aku menitipkan pakaianku yang masih basah kepada ibuku agar dia tidak lupa menjemurnya. 
"Emak! aku nitip jemuran, ya!" teriakku sambil berlari keluar.

"Iya." jawabnya.

"jangan lupa, mak. Aku buru-buru ni!" tegurku agar emak tidak lupa dengan jemuranku. Maklum siswa sekolah menengah pertama seperti aku, suka sibuk tidak menentu.

Beberapa jam kemudian aku sudah berada dirumah.
"Sudah pulang kamu, Sa?" tegur emak sambil melakukan sesuatu. 
"Sudah mak, capek. Diantar separuh jalan. Untung engsel lututku kuat. Kek cinta emak kepada bapak dulu." tuturku yang masih duduk dikursi depan rumah.

"Jangan kau samakan engsel kakimu dengan cinta emak, Elsa. Tau apa kau tentang cinta." sanggahnya yang masih melakukan sesuatu. 

"Emak! Bajuku mana? Kok tidak ada dijemuran?" kagetku sambil mencari-cari bajuku. 

"Belum gilirannya, Sa. Itu masih  dalam baskom" tunjuknya kearah baskom. 

"Memang mau ke bank, mak? Pake antri segala" sambungku.

"Emak.... bajunya mau dipakai siang ini, mak!" pekikku kesal dengan mak.

"Kenapa tidak esok aja, dikerjain, mak!" kesalku.

"Udah dari tadi ni, ngerjain. Jemuran itu biar rapi, Sa." balasnya memperlihatkan jemurannya bersusun rapi.

"Nanti malu sama tetangga" katanya berbisik hampir tak terdengar. 

"Kalau mau rapi-rapi jangan dijemuran mak. Tuh langsung disuruh ke PBB aja. Persatuan Baris berbaris." tukasku  pada emak.

"Sopan sikit ya, Sa!. Mendingan emak bantu jemurin." akhirnya emak melototku. 

Siangnya, tim sensus datang kerumah ketika emak sedang makan siang. Dengan kebaikan emak, mengajak dua orang tersebut makan bersama. Sudah langkah kanan, merekapun makan bersama. Aku masih menikmati dan kenyang dengan kesalku kepada emak tadi. 
Banyak pertanyaan dilontarkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena emak beres-beres sehabis makan siang, maka aku juga diminta emak untuk melayani tamu.

"Pengeluaran berapa sebulan, bu?" tanya salah satu dari mereka.

"Tiga ratus ribu, buk" Jawabku

"Murah amat, ya bu!" balasnya.

"Iyalah, bu. Mana tidak, ikannya juga dari kandang ayam sendiri  dibelakang rumah. Padahal aku tersiksa setiap hari makan ayam emak. Dagingnya aja keras, apalagi cekernya. Bisa disuruh belanja kewarung sebelah." ceritaku

"Sayurnya juga dari kebun samping rumah. Cuman beli beras aja." Sambungku

Sebetulnya aku malas. Benar-benar banyak pertanyaan. Sampai ke Wc belakang. 

"Wc ibu, wc apa? Batu atau kayu?" Begitu tanyanya tanpa melihatku, menceklis satu persatu kertas yang dipegangnya. 
"Batu.  Eh kayu buk." Jawabku serius. Maklum ini orang kantoran. Dilayani saja. 

"Hari gini masih wc kayu." Katanya yang masih sibuk menceklis lembaran kertas dipangkuannya. 

"Udah dari dulunya buk. Kata emak, budidaya turun temurun." Jawabku mulai agak sebel. 

"Harusnya sekarang sudah pakai wc batu ya buk." Katanya  masih sambil menulis dari tadi tanpa memperhatikanku. Sekarang jadi kesal aku. Tidak sopan amat ya. 

"Kalau dikasi pemerintah enaklah buk. Kan tinggal request aja. Apapun modelnya tetap wc batu. Ini yang ngasi itu emakku. Makan aja 300ribu sebulan, amit amit wc batu buk." 

"Iya itu makanya kami sensus. Mau melihat tingkat kesehatan masyarakat juga." jelasnya sambil edukasi ke aku.
 
"Jadi menurut ibuk wc kayu tidak sehat gitu.? Toh ayam emakku pada subur dan besar-besar semua. Itu yang ibu makan siang barusan." tunjukku kearah tempat makan siang barusan. 

"Toh wc kayu kek, wc batu kek.  Sama aja hasilnya buk. Tidak ada juga menghasilkan emas murni. Paling emas kuningan." tuturku agak kesal pada mereka. 

Kulihat mereka pergi setelah pamitan denganku, dengan deheman dan batuk-batuk kecil, sampai mengeluarkan isi perutnya. 

"Kasian ya, orang ber wc batu aja sakit-sakitan. Harusnya sehat deh." gerutuku sendiri sambil mengintip mereka dari daun jendela.

"Apa mereka dalam masalah, ya? atau  memang musimnya batuk ya,? Hihihi." Aku terkekeh sendiri lalu kebelakang untuk berwudhuk, melaksanakan empat rakaatku disiang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar