Perempuan Surga Berhati Baja
Cerpen
Asnani Ummu Afra
Aku sedang memperhatikan ibu. Tidak, tepatnya mengintip ibu yang sedang membuka sesuatu dari selembar kain usang. Lalu mengeluarkan sesuatu dan memegangnya. Disisi lain, kulihat ada benda kecil dan runcing ditangan kanannya, perlahan didekatkan kedua benda tersebut. Aku kaget dan menahan nafasku yang mulai tidak beraturan setelah memperhatikan ibu. 'Kenapa dia melakukan aktivitas itu sembunyi-sembunyi.' Gumamku.
Dia melanjutkan aktivitasnya, memasukkan benda runcing itu kewadah ditangan kirinya. Lalu ditarik lagi, begitu terus dilakukannya hingga beberapa menit. Dia juga menghembus nafas kasar, setelah selesai mengerjakannya. Tidak, bukan selesai, masih banyak tumpukan yang belum diselesaikannya.
Akupun berhenti dari aktivitas mengintipnya.
'Kenapa ibu belum tidur? Bukankah biasanya dia sudah tidur jam segini.' Pikirku sejenak setelah mengalih perhatian.
Aku mengangkat kaki, kulit kakiku sudah keriputan, dan bewarna kecoklatan. Aku adalah orang yang paling ji**k dengan kotoran dan lembab, namun karena aku nekad untuk mengintip ibu, yah mau tidak mau aku harus melewati ini semua.
'Apa karena kondisi kita seperti ini sehingga ibu melakukan hal itu?' ada yang berisik dipikiranku.
Iya, aku tau Ibuku, Ratih. Adalah seorang yang lemah lembut baik dalam perkataan maupun perbuatan. Dia juga tidak bisa bekerja yang mengandalkan tenaga, bahkan sedikit saja, dia akan sesak. Walau beberapa hari ini dia begitu melawan takdirnya. Karena dia harus berperan sebagai kepala keluarga setelah kepergian ayah untuk selamanya.
Mungkin karena ibu tidak mau aku khawatir akannya. Makanya dia melakukan aktivitas itu di jam tidurku.
'Aku sayang ibu. Terlepas dari apapun aktivitasnya untuk kelangsungan hidup kami' gumamku menatap lelangit rumah yang terlihat pendaran bintang dari celah lubang. Cairan itu begitu progresif dengan kami, dengan lingkungan dan rumah kami. Mereka hadir dari bawah, bahkan atas rumah kami. Kami tidak bisa menyingkirkan sesuatu yang sudah masuk kedalam hidup kami. Beginilah situasi kami dan lingkungan. Bahkan aku harus menahan air wudhuk untuk dua kali salat wajib, begitu pesan ibu. Akhirnya mataku lelah perlahan dan mulai gelap.
#####
"Bu Shery. Saya tidak mau sekolah" ucapku suatu hari diparkir sekolah.
"Kenapa tidak mau sekolah? Kamu sudah kelas delapan sekolah dasar disini, Win" tanya dan jelasnya kaget.
"Saya mau membantu ibu kerja" kataku sambil menatap hampa tanah, menahan sesak seketika.
"Memang kenapa ibumu, Winda. Sakit?" tanyanya lagi
Aku hanya menggeleng.
"Loh, lalu kenapa dia tidak bekerja? Malas?" sambungnya lagi
Aku kembali hanya menggeleng.
"Kamu punya cita-cita, Win. Itu akan musnah jika kamu berhenti sekolah." jelasnya tidak setuju dengan rencanaku.
Aku tidak peduli, daripada membiarkan ibu sakitan dan situasi kami yang payah, tidak ada gunanya kesuksesanku nanti tanpa ibu. Sementara kulihat ibu semakin payah sekarang. Belum lagi mentalnya ditinggal ayah. Aku tidak mau menambah kesedihannya. Walau sebenarnya aku juga rapuh.
#####
"Winda! Ayo makan nak, biar kamu kuat dan tidak sakit."
"Iya, bu!" setelah belajar dan mencoret dari koran bekas, aku menuju ke tumpukan piring bekas. Hampir semua perkakas kami berantakan, terdapat sepiring penuh nasi putih. Dan tiga potong tempe bacem.
"Ibu, ayo kita makan bersama" naluriku berkata bahwa ibu belum makan. Aku melihat-lihat cuma ada makanan itu. Karena rumah kami hanya mempunyai satu tudung saji yang masih bagus, apalagi almari untuk menyimpan makanan.
"Makanlah, nak. Ibu sudah makan barusan." jawabnya lembut. Dadaku sesak mendengar ucapannya.
"Tidak, ibu pasti belum makan. Ayo, bu kita makan bersama!" ajakku memujuk hatiku juga agar tidak terharu biru didepan ibu.
"Winda, jangan berkeras nak. Ibu sudah makan. Cepat kamu makan sekarang. Lalu belajar" arah ibu.
"Sisakan sedikit makanan untuk malam" sambung ibu tanpa menolehku.
Sebenarnya aku bosan dengan belajar belajar belajar. Sementara ibu bekerja sendiri.
"Ibu, Winda tidak mau sekolah lagi."
"Jangan pernah kamu sebut perkataan itu, Winda" tegur ibu terkesan serius
"Winda bosan, bu. Winda bosan belajar belajar belajar." Ungkapku sambil mencubit-cubit nasi dipiringku.
"Tutup mulutmu Winda. Jangan jadi anak pemalas, kamu" ibu semakin terlihat tegas.
"Iya Winda memang pemalas. Malas bekerja, malas membantu ibu. Membiarkan ibu bekerja sendiri."
"Tidak begitu caranya Winda." kini nada ucapan ibu semakin turun.
"Untuk apa Winda sekolah dan belajar jika hanya membebani ibu. Menambah ibu sakit dengan bekerja keras diluar." Emosiku terusik. Airmataku mulai turun.
"Iya, kita memang mendapat musibah ini beberapa bulan ini, Win. Tapi kamu harus bertahan. Disetiap kesulitan ada kemudahan. Harus tetap sekolah dan belajar, jangan seperti ibu, Win"
"Percayalah, musibah juga akan berlalu, dan kita akan seperti semula lagi." mantap ibu berdoa agar kondisi kami semakin membaik.
#####
"Ibu Ratih, sebenarnya ada apa dengan Winda?" ibu guru bertanya kepada ibuku ketika punya kesempatan bertemu dijalan sepulang ibu dari kerja.
"Kenapa dengan Winda?" tanya ibu dingin
"Winda sudah tidak bersemangat belajar lagi, bahkan dia mau berhenti sekolah." lanjut bu guru.
"Tahukah ibu tentang anak ibu ini?"
"Jangan-jangan ibu menyuruhnya kerja dan berhenti sekolah" sak ibu guru kepada ibuku.
"Aku lebih tau anakku, bu Sher. Dia akan terus sekolah, bu. Tidak akan pernah putus sekolahnya, dia punya cita-cita mulia untuk hidup orang banyak.
Bu Sher jangan khawatir. Winda anak baik kok. Dan juga kuat, kami bisa melalui ini semua. "
"Terima kasih". ibu lalu meninggalkan bu Shery sendirian yang masih dalam keadaan bingung. Begitu kata ibu, dan ibu tidak suka jika aku menceritakan keadaan kami kepada orang lain termasuk guru-guruku.
#####
Suatu hari guru-guruku datang dikediaman kami, bukan karena ceritaku, tapi karena aku sakit hampir sepekan. Mereka semakin kaget melihat situasi rumah kami yang menurut mereka tidak layak huni. Selain mengunjungiku, mereka membantu dan membereskan limbah dan lumpur yang masih berada didalam rumah kami. Terik panas mentari menambah gerah kami semua, masuk melalui atap dan plapon rumah yang sudah bolong-bolong. Hasil dari hujan deras dibulan ini.
Ibu sudah histeris, berteriak bebas. Memanggil nama bu Shery Disela-sela namaku, dia tidak terima aku menceritakan ini semua.bTanpa malu dia melakukan hal itu didepan guruku dan orang-orang yang membantu membersihkan kediaman kami. Mereka bukan tidak mau membantu tapi ibu tidak ingin siapapun mengetahui kondisi kami. Akhirnya ibu lelah sendiri. Aku tau perasaan ibu.
Dialah yang lelah dengan semua ini. Membersihkan limbah dan lumpur sendirian setiap hari, hanya sedikit limbah kotor keluar rumah, ketika hujan hampir setiap hari, lumpur akan masuk lagi. Karena hujan deras, atap rumahku juga tidak sanggup menanggung beban. Alhasil, air masuk dari atas dan bawah rumahku.
"Bu Ratih, maaf! Sepertinya rumah ini sudah tidak layak huni. Sebaiknya bu Ratih dan Winda harus dieksekusi ketempat yang lebih aman. Biarkan kami dan warga membersihkan ini semua, jika sudah bersih baru bu Ratih pulang lagi." jelas Bu Shery sambil memelukku karena aku juga sakit dan batuk-batuk. Ibuku semakin tenang dan memelukku.
"Kalian bisa tinggal dikediaman ku, ada kosanku yang kosong disana. Jangan khawatir bu Ratih, biarkan kita membantu keluarga bu Ratih." sambung bu Shery.
"Aku hanya tidak mau mengeluh, dan menyulitkan siapapun, demi kelancaran sekolah Winda, agar dia tidak khawatir dan terus bersekolah" begitu lembut tangan ibuku membelai rambutku. Kurasakan hangat pelukannya disela isakannya yang semakin hilang. Bu Shery tersenyum dan menepuk pundak perempuan surgaku. Walau bagaimanapun aku bangga dengan ibu yang bekerja keras menjagaku dengan kasih sayangnya.
*Thanks for everything mom. You really are one in a million. Love you always*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar